Selasa, 11 Oktober 2011

MENGUPAS ' HULUL' AL-HALLAJ


Aku adalah Engkau yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat Kami.”

AL-HALLAJ, MANSUR (Persia 244 H/858 M-Baghdad, 24 Zulkaidah 309/26 Maret 922). Nama lengkapnya ialah Abu al-Mugis Husain bin Mansur al-Hallaj. Sejak kecil al-Hallaj mulai belajar membaca Al-Qur’an hingga ia berhasil menjadi hafiz (penghapal Al-Qur’an). Ia mengenal dan mempelajari tasawwuf pertama kali dari seorang sufi yang bernama Sahl at-Tustari.
Al-Hallaj terkenal sebagai seorang sufi yang gemar berkelana ke ber bagai daerah. Dari berkelan a ia dapat berguru pada para sufi kenamaan pada masa itu.Di Basra ia berguru pada Amr Makki. Di Baghdad ia berguru pada tokoh sufi modern dan termasyhur, al-Junaid al-Baghdadi. Selanjutnya ia ke Mekah dan tinggal di pelataran Masjidilharan seraya melakukan praktek
kesufiannya. Di sinilah ia mengaku telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa yang kemudian terkenal dengan hulul.
Al-Hallaj kemudian menetap di kota Baghdad sambil menyebarkan ajaran tasawwuf. Namun pada tahun 922 ia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Dinasti Abbasiyah dengan tuduhan membawa paham yang menyesatkan. Selain itu ia dituduh pula mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah, suatu kelompok Syiah garis keras yang dipmpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11.
Ajaran tasawwuf al-Hallaj terkenal dengan paham hulul, yaitu Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia itu betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj, Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan an-nasut (sifat kemanusiaan). Manusia juga mempunyai dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu antara Tuhan dan mannusia mempunyai kesamaan sifat, sehingga persatuan antara Tuhan dan mannusia itu mungkin terjadi.
Untuk melenyapkan an-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Bila usaha untuk melenyapkan sifat ini berhasil maka yang tinggal di dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat an-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang sufi, hingga terjadilah hulul.
Peristiwa ini hanya terjadi sesaat. Penyatuan roh Tuhan dan roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj di dalam sebuah syairnya: “Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaan Engkau adalah aku.” Di dalam syairnya yang lain al-Hallaj melukiskan sebagai berikut: “Aku adalah Engkau yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat Kami.”
Ketika peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Yang Maha Benar). Sebagian orang menganggap al-Hallaj kafir karena ia mengaku dirinya Tuhan. Namun sebagian pula menganggapnya bahwa al-Hallaj mengalami ekstase yang tinggi akibat pertemuan dengan Tuhannya.
Pertanyaannya, kafirkah al-Hallaj dengan adanya ucapan ’Ana al-Haqq’ yang artinya Aku adalah Yang Maha Benar ? Lalu bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW, yang ketika turun ayat kepadanya terlontar ucapan Tuhan dari lidahnya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Q.S: 20/14).
Jika al-Hallaj mengucapkan kalimat Ana al-Haqq dalam keadaan sadar jasmani, bukan sadar  ruhani, maka pasti dapat dikatakan bahwa al-Hallaj telah ‘kafir’ seperti firaun yang mempertuhankan dirinya. Akan tetapi jika al-Hallaj dalam keadaan fana atau kehilangan kesadaran jasmaninya akibat diliputi dan dikuasai oleh Ruhaniahnya, sehingga al-Hallaj mengeluarkan ucapan syatahat karena ekstase yang tinggi, maka situasi al-Hallaj dapat disamakan dengan situasi Nabi Muhammad SAW ketika mengeluarkan firman Allah dari lidahnya, Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Lisan al-Hallaj hanya digunakan oleh Allah seperti lisan Nabi Muhammad SAW.
Syair al-Hallaj justru inilah yang seharusnya menjadi polemik karena ditulis dan diucapkan dalam keadaan sadar jasmani. “Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaan Engkau adalah aku.” Di dalam syairnya yang lain al-Hallaj melukiskan sebagai berikut: “Aku adalah Engkau yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat Kami.”
Ketika al-Hallaj menuliskan syairnya ini ia sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia tulis itu adalah dirinya yang bersatu dengan Tuhan, atau menyakini bahwa dia adalah Tuhan sebagaimana syairnya, jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, maka al-Hallaj wajib dihukum pancung karena ia telah menyebarkan agama yang sesat. Lain halnya jika al-Hallaj mengucapkannya dalam keadaan tak berdaya akibat rengkuhan kasih Ilahi sehingga terlontar ucapan penyatuan yang dianggap syatahat, maka penguasa yang memancungnya harus bertanggung jawab di hadapan Ilahi atas perbuatannya.

2 komentar:

  1. Hulul atau Ittihad, hanya Allah yang mampu menilai...

    BalasHapus
  2. Al Hallaj hafal Al-Quran tapi penulis mungkin lupa ayat sebelum (Q.S: 20/14) yang terjemahnya sebagai berikut. ayat 11:... ia dipanggil, "Hai Musa". ayat 12: sesungguhnya Aku inilah Tuhan-mu... ayat 13: Dan Aku telah memilih kamu... ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku ...

    Jadi tolong Abdullah bin Muhammad janganlah menggunakan logika: Lalu bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW, yang ketika turun ayat kepadanya terlontar ucapan Tuhan dari lidahnya.

    Ketahuilah itu bukan ucapan nabi apalagi terlontar asal. Itu merupakan perkataanNya.

    Kesimpulannya Al Hallaj membuat ucapan sendiri dari dalam dirinya yang mungkin dari bisikan iblis. Berbeda dengan nabi yang berasal dari Allah.

    Bertaubatlah kawan dari logika, ketahuilah Nabi meninggalkan kita dengan agama yang sempurna. Tidak perlu kita cari cari lagi tandingan ajarannya. Tidak perlu dikembangkan pada masalah yang fundamental (akidah). TApi dalam masalah fikih untuk masalah dunia modern itu jelas perlu tapi bagi ahlinya.

    BalasHapus