Selasa, 27 September 2011

MENGENAL AL-GAZALI


AL-GAZALI (450-505 H/1058-19 Desember 1111 M)
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Gazali. Ia lahir di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasam, yang ketika itu merupakan pusat ilmu pegetahuan di dunia islam.

Ia lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ia belajar Al-Qur’an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, ia dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar. Padanya al-Gazali mempelajari ilmu fikih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu ia juga menghapal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-Qur’an dan sunnah.

Ia kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Gurunya Yusuf an-Nassj, juga seorang sufi. Setelah tamat, ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar pengetahuan agama. Gurunya diantaranya Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Beberapa tahun kemudian ia masuk pada Madrasah Nizamiyah di Nisabur yang dipimpin oleh ulama besar Imam al-Haramain al-Juwaini salah seorang tokoh aliran Asy’ariah. Di sini ia belajar ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam. Karena sangat berbakat, maka ia diangkat menjadi asiten menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gurunya berhalangan. Di Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang.

Setelah al-Juwaini wafat ia menuju Muaskar. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang rutin diadakan di istana Nizam al-Mulk. Melalui forum ini kemasyhurannya semakin meluas, hingga ia diangkat menjadi guru besar pada Madrasah Nizamiyah di Baghdag pada tahun 1090 M. Akan tetapi, setelah lima tahun memangku jabatan itu, ia mengundurkan diri.

Ketika itu kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?”. Perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Al-Gazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indera sebab panca indera seringkali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi juga ternyata tidak memuaskan. Tasawwuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasawwuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar.

Al-Gazali mulai mengecam para filsuf yang berpendapat bahwa: Pertama alam itu qadim, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Menurut al-Gazali, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang terwujud tanpa sebab. Mengakui alam itu qadim berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta. Kedua, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam menyesatkan umat islam karena paham itu membawa kepada pengingkaran sifat Kemahatahuan Tuhan. Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat material, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya.

Pada tahun 1095 al-Gazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari suatu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkan setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri di dalam Masjid Damascus. Di sinilah ia menulis kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasawwuf. Pengaruh buku ini meliputi seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.

Kehidupan al-Gazali pada masa tuanya telah mantap menjadi seorang sufi, dan ia berkeyakinan bahwa tasawwuf adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kebenaran hakiki. Melalui tasawwuf seseorang dapat berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan kalbunya dapat melihat Tuhan.

Menurut al-Gazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi.
1)      Tobat
Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.
2)      Sabar
Jika daya jiwa melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang dapar dikatakan sabar.
3)      Kefakiran
Yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Jika haram atau subhat, makanan itu harus ditolaknya.
4)      Zuhud
Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.
5)      Tawakkal
Manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati, sehingga seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi.
6)      Makrifat
Yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Makrifat ini yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan).

Catatan:
1)      Pada dasarnya segala ilmu itu harus mengantarkan kita kepada Zat Pencipta.
2)   Banyak ilmuwan yang menggali pengetahuan dan merasa hebat dengan pengetahuannya, tetapi pada akhirnya merasa tidak bahagia dengan ilmunya dan berusaha mencari sumber bahagia itu.

Biografi dan pemikiran Al-Ghazali lebih lengkap dapat anda baca di: http://www.tuanguru.net dan http://www.surgamakalah.com

 
Daftar Pustaka :
Pusat Perbukuan Depdiknas, 2003, Ensiklopedia Islam 2, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta



2 komentar:

  1. template hebattt.....mantaft..

    BalasHapus
  2. Al-gazali adalah seorang tokoh pembaharu dalam islam yang memadukan syariat dan tasawwuf yang tabu pada jamannya.

    BalasHapus