Kamis, 13 Oktober 2011

MENGENAL IMAM HANAFI

HANAFI,IMAM (Kufah, 80 H/699 M, Baghdad, 150 H/767 M). Ulama mujtahid (ahli ijtihad) dalam bidang fikih dan salah seorang di antara imi keempat mazhab (Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, Mazhab Syafii, Mazhab Hanafi) yang terkenal dalam islam.

Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man bin Sabit. Gelar Abu Hanifah diberikan kepada Nu’man bin Sabit karena ia seorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Setelah ia menjadi ulama mujtahid, ia pun dipanggil dengan sebutan Imam Abu Hanifah dan mazhabnya dinamakan Mazhab Hanafi.

Imam Abu Hanifah dikenal rajin dan teliti dalam bekerja, fasih berbahasa.
Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dn hikmah. Ia teguh dalam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar di hadapan siapa pun, dan memiliki kepribadian yang luhur. Walaupun putra saudagar kaya, Abu Hanifah amat menjauhi kemewahan hidup.

Sejak masa mudanya Abu Hanifah sudah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang bertalian dengan hukum islam. Ia mengujungi berbagai tempat untuk berguru kepada ulama yang terkenal, sehingga Abu Hanifah mempunyai banyak guru. Gurunya kebanyakan dari para tabiin, antara lain Imam Ata bin Abi Rabah (W.117 H), dan Imam Hammad bin Abi Sulaiman (W.120 H), seorang ulama fikih yang termasyhur di masanya, dan Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun. Gurunya yang lain adalah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Adi bin Sabit, Imam Abdurrahman bin Hammaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Mansur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah al-Hajjaj, Imam Asim bin Abu an-Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, dan lain-lain.

Minatnya yang mendalam terhadap ilmu fikih, kecerdasan, ketekunan, dan kesungguhan dalam belajar mengantarkan Abu Hanifah menjadi seorang yang ahli di bidang fikih. Keahliannya diakui oleh ulama semasanya, antara lain oleh Imam Hammad bin Abi Sulaiman. Ia sering mempercayakan tugas kepada Abu Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran ilmu fikih di hadapan murid-muridnya. Imam Syafi’I menyatakan bahwa Abu hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fikih. Imam Khazzaz bin Sarad juga mengakui keunggulan Abu Hanifah di bidang fikih dari ulama lainnya.

Selain ilmu fikih, Abu Hanifah juga mendalami hadis dan tafsir, karena keduanya sangat erat berkaitan dengan fikih. Pengetahuan lain yang dimilikinya adalah sastra Arab dan ilmu hikmah. Karena penguasaannya yang mendalam terhadap hukum-hukum Islam, ia diangkat menjadi mufti di kota Kufah, menggantikan Imam Ibrahim an-Nakhai. Kepopulerannya sebagai ahli fikih terdengar sampai ke berbagai pelosok negeri.

Berbeda dengan guru lainnya pada waktu itu, Abu Hanifah dalam memberikan pengajaran selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk berfikir kritis. Ia tidak ingin muridnya menerima begitu saja ilmu yang disampaikannya, melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat, dan kritik. Seringkali ia ditemukan berdiskusi, bahkan berdebat dengan murid-muridnya tentang suatu masalah. Walaupun ia memberi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya, ia tetap disegani dan dihormati, malah sangat dicintai murid-muridnya.

Imam Abu Hanifah digelari Imam Ahlul Ra’yi karena ia lebih banyak memakai argumentasi akal daripada ulama lainnya. Ia juga banyak menggunakan kias dlam menetapkan suatu hukum. Walaupun demikian, tidak berarti ia mendahulukan kias daripada nas. Dasar-dasar yang dipakai dalam menetapkan suatu hukum adalah :
1)      kitab Allah SWT ( Al-Quran ), merupakan pilar utama syariat dan sumber dari segala sumber hukum;
2)      sunah Rasulullah SAW, merupakan penjelasan dari Al-Qur’an dan perincian mujmal (umum) nya;
3)      fatwa-fatwa dari para sahabat, karena mereka merupakan penyampai risalah yang menyaksikan masa turunnya Al-Qur’an serta mengetahui munasabah (keserasian) antar ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis dan pewaris ilmu dari Nabi Muhammad SAW untuk generasi berikutnya;
4)      kias, digunakan jika tidak ada teks dari Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW serta fatwa sahabat;
5)      istihsan, yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika analogi (kias) yang tampak nyata menuju pada hukum lain yang menyalahinya, karena tidak tepatnya kias pada sebagian juz’iah;
6)      ijmak, yaitu kesepakatan para mujtahid (ahli ijtihad) tentang suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu;
7)      urf, yaitu adat yang berlaku di masyarakat Islam dalam suatu masalah tertentu yang tidak disebut oleh nas Al-Qur’an, sunah Nabi SAW, atau belum ada dalam praktek sahabat.

Dasar-dasar itulah yang kemudian dikenal dengan “Dasar Mazhab Hanafi”. Tegasnya ia hanya menggunakan kias bila hukumnya tidak didapati secara jelas di dalam Al-Qur’an, tidak dalam sunah (hadis sahih), dan tidak pula dalam keputusan para sahabat, khususnya al-Khulafa’ar-Rasyidin (Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib).

Sebagai ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah pikiran. Sebagian ide dan buah pikirannya ditulisny sendiri dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab-kita yang ditulisnya sendiri antara lain :
1)      al-Fara’id, yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum Islam;
2)      asy-Syurut, yang membahas perjanjian; dan
3)      al-Fiqh al-Akbar, yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Magnisawi.

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak; di dalamnya terhimpun ide dan buah pikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu kemudian menjadi pegangan pengikut Mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu ke dalam tiga tingkatan.

Pertama, tingkat Masa’il al-Usul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berupa masalah-masalah yang langsung diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat-sahabatnya yang terkenal seperti Imam Abu Yusuf. Kitab dalam kategori ini adalah Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas 6 kitab, yaitu :
1)      al-Mabsut (buku yang terbentang);
2)      al-Jami’as-Sagir (himpunan ringkas);
3)      al-Jami’ al-Kabir (himpunan lengkap)
4)      as-Sair as-Sagir (sejarah ringkas);
5)      as-Sair al-Kabir (sejarah lengkap);
6)      az-Ziyadah (tambahan)

Kedua, tingkat Masa’il an-Nawazir (masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nazar), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah fikih yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dalam kitab selain Zahir ar-Riwayah. Kitab-kitab yang termasuk dalam kategori kedua adalah kitab-kitab Harran-Niyah (Niat Yang Murni), Jurjan-Niyah (Rusaknya Niat), dan Qais an-Niyah (Kadar Niat)oleh Imam Muhammad bin Hasan bin Syaibani, serta kitab al-Mujarrad (Yang Asli) oleh Imam Hasan bin Ziyad.

Ketiga, tingkat al-Fatawa wa al-Waqi’at (fatwa-fatwa dalam permasalahan), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fikih yang berasal dari istinbat (pengambilan hukum dan penetapannya) ulama Mazhab Hanafi. Termsuk dalam kategori ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana) dari Imam Abdul Lais as-Samarqandi.

Kepustakaan :
Pusat Perbukuan Ddepdiknas, 2003,Ensiklopedi Islam 2, Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar